Biar Tangan Yang Bercerita

Friday, March 17, 2017

Telenovela (Chapter 3)



Suara adzan subuh membangunkanku dari tidur lelapku dengan headset yang masih terpasang di telingaku namun tak ada suara yang keluar dari situ, kulihat hapeku dan ada sms dari sasah rupanya. Aku langsung terduduk dan mengucek mataku, lalu membuka sms itu,
“nanti siang aku mau ketemu fan di tempat biasa, aku mau jelasin semuanya”
Cukup lama kupandangi is isms itu, lalu aku mulai mengetik panjang lebar dengan berbagai pertanyaan yang ada di kepalaku saat ini, setelah kulihat lagi akhirnya kuhapus semua yang ku ketik itu, biar nanti saja pas bertemu akan kutanyakan semua kepadanya. Lalu kukirim balasan sms ku kepadanya, “Iya”.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu lantas solat setelah itu aku pergi menyeduh kopi. Pagi ini aku tidak ada kuliah, tapi pukul 9 nanti aku ada mata kuliah pindahan dari dosen yang minggu lalu tidak hadir.

Aku duduk di teras depan rumahku. Kamu harusnya lihat aku saat ini sah, aku saat ini punya pagi, punya kopi, punya kenangan yang mengepul hangat di kepala. Kamu sendiri punya apa sah, selain hati yang sulit kuterka???

Kamu harusnya tau sah, saat ini sedang kalut pikiranku, sedang takut rasanya diriku menghadapi pertemuan nanti. Aku takut pertemuan nanti akan menimbulkan rasa rindu yang belum selesai, dan juga harapan kosongku yang tumbuh saat kau katakan sudah tak ada kesempatan lagi tentang hubungan ini.

Aku sudah berada di kelasku saat ini, baru ada sebagian dari mahasiswa yang hadir di kelas dan sebagiannya lagi entah ada di mana rimbanya aku tak tahu. Aku sendiri sedang asyik membunuh rasa bosan dengan bermain game yang ada di hapeku di bangku pojok belakang yang menempel dengan dinding. Beberapa anak mulai berdatangan, dan beberapa mengajak ku mengobrol dan bercanda namun hanya kutanggapi seadanya karena aku sedang tidak ada minat untuk itu saat ini. Tidak lama setelah itu dosen yang di tunggu tiba dan mata kuliah di mulai seperti biasanya.

Kuliah selesai jam 12 siang, aku menuju kantin kampus karena perutku mulai terasa lapar. Sejak pagi aku memang hanya secangkir kopi, serta sepiring kepenatan dan sebingkis tangis rindu. Ada sms masuk dan kulihat dari sasah,
“fan, jam set1 aku tunggu di tempat biasa yah”
Setengah jam lagi berarti, tak kubalas pesan itu langsung kumasukan ke saku celana. Aku langsung memesan sepiring nasi goreng dan segelas susu. Setidaknya saat pertemuan nanti, jika hatiku mulai melemah saat harapan tak sesuai kenyataan setidaknya ragaku masih kuat menyangga nya.

Aku sudah berada di bawah pohon rindang di danau yang ada di kampusku ini. Aku duduk menghadap ke arah danau sambil menunggu kehadiran sasah. Tak lama sasah datang lalu ikut duduk di sebelahku menghadap ke danau.
“maaf fan, udah nunggu lama yah” dia membuka pembicaraan.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum sambil menatapnya sebentar dan kembali menatap danau lagi.

Kami terdiam hingga beberapa saat, terasa sekali suasananya terasa sangat canggung disini. Aku tetap diam menunggu semua penjelasan yang akan keluar dari mulutnya. Sasah telihat menarik nafas panjang dan seakan mencoba mengumpulkan kekuatan untuk memulai penjelasannya.

“aku minta maaf fan, aku tau kamu  pasti kecewa dengan apa yang terjadi tapi emang ini kenyataannya kalo mama gabisa terima aku buat pacaran dulu. Mungkin kamu kira aku ga berjuang buat hubungan ini, tapi kamu tau sendiri sifat kerasnya mama. Aku juga gamau kaya gini, aku nangis semalaman hingga tak sempat membalas pesan atau sekedar ngabarin kamu, bukan..bukan tak sempat lebih tepatnya aku ngga mau karena justru takut memperkeruh keadaan. Aku pikir aku harus bicara langsung sama kamu kaya sekarang ini. karena bagi aku semaju apapun teknologi, komunikasi terbaik tetaplah antara mata dengan mata.” Air mata mulai keluar dari matanya tetap lurus ke depan seakan tak sanggup untuk memandangku.

Melihat itu membuat kobaran amarah di diriku perlahan padam oleh air mata yang jatuh dari kedua mata indahnya itu. Lelaki mana yang tidak luluh melihat wanita yang dia sayang menangis di hadapannya. Aku ragu ingin mengusap pundaknya untuk menenangkan, tapi tanganku seakan tak bisa beranjak dari tempatnya.

“tapi bisa kan sah kita tetap lanjutin hubungan ini tanpa diketahui mama kamu?” aku bertanya sambil perlahan menggenggam tangannya seakan menguatkan bahwa kita bisa  melalui semua ini.

“ngga bisa fan, aku gamau ngebohongin mama aku  terus-terusan kaya gini. Aku bakalan ngerasa bersalah banget sama mama kalo tetap lanjutin ini di belakang dia tanpa sepengetahuannya” dia menarik tangannya dari genggamanku untuk menyeka air matanya.
Aku menarik nafas panjang dan menghelanya dengan tatapan jauh ke danau, aku saat ini mulai merasakan hatiku yang melemah karena seakan kehabisan alasan untuk mempertahankan hubungan ini lagi. Rasa marah dan kecewa mulai berkumpul lagi di dalam diriku, tapi kulampiaskan dengan mengepalkan tanganku sekencang-kencangnya, dan sebisa mungkin aku tahan agar tidak meluap.

“berarti hubungan ini cukup sampai disini aja sah?” kataku dengan nada keputus asaan yang tergambar jelas di pertanyaan itu.

“aku gatau fan, aku juga gamau hiks..hiks..kaya gini. Aku gamau hiks…gamau lepasin kamu hiks…hiks…” tangisnya mulai pecah disitu. Aku akhirnya mengusap punggungnya menguatkan seakan semuanya baik-baik saja walaupun kenyataan sekarang keadaan kami berdua jauh dari baik-baik saja.

Kami terdiam, hanya terdengar suara sesenggukan dari sasah yang masih terdengar dan aku masih mengusap punggungnya mencoba menenangkan. Aku juga bingung bagaimana harus bersikap dengan keadaan seperti ini, di satu sisi aku jelas ingin mempertahankan hubungan ini tapi di satu sisi aku jelas tidak ingin membuat sasah merasa bersalah dengan mamanya.

Kenapa harus serumit ini, seharusnya perkara saling mencintai berarti perkara saling mempertahankan, saling memperjuangkan dan saling memenangkan. Tapi kenyataannya, justru kami harus saling melepaskan, saling mengikhlaskan dan saling menerima keadaan bahwa cinta tak seindah syair-syair yang sering di dengungkan para perajut aksara.
Tiba-tiba hape sasah berdering, lalu dijawab setelah dia menarik nafas panjang seakan mengatur suara biar terlihat biasa saja saat menjawab panggilan yang masuk ke hapenya.
“halo kenapa de?”
“iya ini gua udah mau balik ke kelas”
“mane nangis, ngga gua abis makan baso pedes banget, yaudah ntar gua beliin titipan lu”
“hahaha suee lu”, lalu dimasukan hapenya ke dalam tas.
“aku harus balik ke kelas lagi fan, aku ada kuliah lagi nanti jam 1” katanya sambil beranjak berdiri.
“aku minta maaf fan, terserah kamu nantinya mau benci aku atau apapun itu aku bakal coba buat terima. Aku tau ini pasti sakit buat kamu, tapi ini juga pahit buat aku. Maaf juga, kalo seandainya kamu berharap kisah kita ini hanya berkoma, punya jeda tapi kenyataannya kaki ku justru melangkah menghampiri titik. makasih fan buat kebahagiaan yang kamu kasih selama dua bulan ini, aku harap setelah ini kamu temui pemilik rindumu yang baru yang bisa menggantikan kenangan antara aku dan kamu”, sesudah itu dia tersenyum sekilas kepadaku lalu beranjak pergi meninggalkan aku yang masih terpaku dan masih berharap ini hanya mimpi di dalam lamunanku

Bersambung…

No comments:

Post a Comment