Biar Tangan Yang Bercerita

Monday, April 3, 2017

Coretan Khayla



Perpisahan selalu jadi peristiwa yang paling menyakitkan, bahkan dengan cara yang baik-baik pun tetap saja ada luka yang ditinggalkan. Kita akan mencoba belajar melupakan saat kehilangan, tentang merubah sebingkis kerinduan menjadi sebingkai kenangan, yang mungkin akan selalu menyedihkan saat kita mulai tenggelam dalam angan. Saat kita menyadari bahwa yang paling berat bukan apa yang dipikul di pundak, melainkan apa yang membuat seisi rongga dada menjadi sesak.

Hingga nanti pada akhirnya, pertemuan dengannya adalah hal yang paling kita takutkan, karena masih adanya rasa rindu yang mungkin masih belum usai, dan harap kosong yang nantinya akan tumbuh lagi walau kita tahu bahwa sudah tidak ada kesempatan lagi. Tidak mudah memang melupakannya, namun hati yang tersakiti perlahan menjadi alasan untuk pelan-pelan menjauh pergi. Hingga nanti yang tersisa hanyalah sisa-sisa suara, hanya kenangan yang menikam dada. Hingga akhirnya kita merasa benar-benar payah, karena melupakannya saja kita selalu ingin menyerah.

Kelak kita akan selalu mengingatnya, ketika dia pernah menjadi sebuah rindu yang menggoyang ranjang sepi di kamar kita. Pernah menjadi sesuatu yang menjelma di sela lembar puisi yang sedang di baca, dan menjadi sebuah lagu yang meggema di kepala. Kelak dia juga yang akan kita kenang, yang kita pernah harapkan datang meski bukan sebagai hujan, tapi cukup jadi teman bercerita yang cukup bagi letih menampung segala kelelahan dalam kehidupan.

Hingga akhirnya kita harus menekan rindu kita, yang tak serupa para pelaut merindukan daratan. Tak juga serupa tanah gersang yang merindukan hujan. Kita buat rindu kita sekadar diam, menghujam rongga dada, dan meninggalkan gelisah yang sembarangan menjajah. Hingga senja menelan bayang kita, ingatan tentangnya akan tetap tinggal bersama kita meski dia tak lagi kita mau dan kita rindu. Biarkan doa-doa kita damai bersamanya dalam syahdu. Biarkan diri kita yang dalam keadaan seperti ini, hingga kita merasa ini adalah terakhir kalinya kita di kalahkan oleh perasaan dan di pupuskan semua pengharapan. Kemudian kita bosan merindu sendiri, lalu menemuinya dalam puisi berkali-kali, hingga akhirnya kita perlahan mulai bangkit lagi. Karena kita sadar apa yang diberikan mendung kepada bumi, sama seperti apa yang diberikan harapan kepada hati. Hanya sebuah kemungkinan, tidak selalu pasti.

Dari sebuah kehilangan kelak kita akan belajar, bahwa doa adalah sapu tangan paling tabah yang bersedia mengusap air mata pemiliknya. Kita akan mulai memilih jalan kita sendiri, mengembara menemui diri kita kembali, membiarkan dirinya perlahan pergi bersama daun-daun yang mati lalu terbakar menjadi abu dan tenggelam ke dasar bumi. Mencoba untuk menemui seseorang yang asal bukan dia, dia yang pernah membuat jatuh pada cinta hingga akhirnya membuat lubang luka di dada.

Semoga waktu benar-benar menjadi obat dari segala kenangan yang sendu,  meski sejujurnya sangat sulit membiarkannya menjauh dari masa lalu. Namun, kita paham, kita bukan lagi seseorang yang dia inginkan. Sekuat apapun kita menjaga doa-doa untuk bersama, tidak akan berguna jika dia tidak juga bersedia. Atau mungkin ini jawaban saat kita meminta yang terbaik kepada Tuhan, dan akhirnya kita dipisahkan. Berucap memang tak semudah menatap. Andai mata dapat mengirim pesan serupa kata yang tertangkap telinga. Atau hati dapat mendengar suara yang tak melewati udara. Tak mungkin ada sesak saat tak terjadi jumpa. Pastilah tak perlu ratap saat rindu kian meluap.

Kini setelah tidak dengannya, doakanlah selalu yang terbaik untuknya. Mulai berdamailah dengan masa lalu kita demi kebahagian kita juga kelak nantinya. Doakan saja semoga harinya menyenangkan, semoga dia temui seseorang yang lebih keras memperjuangkannya, yang lebih tabah memahaminya, melebihi segala hal yang pernah kita lakukan untuknya. Semoga dia juga tidak merasakan luka seperti yang kita rasakan, juga tidak lagi merasakan kesedihan yang berkepanjangan. Semoga tidak ada lagi air mata di segala kenangan saat datang menerjang terutama di kala sepinya malam dan di derasnya hujan. Semoga dia bahagia, dan kita lebih bahagia. Karena, puncak manisnya sebuah hubungan yang sudah berakhir adalah ketika yang bicara hanya air mata, tapi jauh dilubuk hati masih saling mendoakan satu sama lain dihadapan Sang Pencipta.


4/3/17 19.49 WIB
Geometry Cafe

No comments:

Post a Comment