Perpisahan selalu jadi peristiwa yang paling menyakitkan, bahkan dengan cara yang baik-baik pun tetap saja ada luka yang ditinggalkan. Kita akan mencoba belajar melupakan saat kehilangan, tentang merubah sebingkis kerinduan menjadi sebingkai kenangan, yang mungkin akan selalu menyedihkan saat kita mulai tenggelam dalam angan. Saat kita menyadari bahwa yang paling berat bukan apa yang dipikul di pundak, melainkan apa yang membuat seisi rongga dada menjadi sesak.
Hingga nanti pada akhirnya,
pertemuan dengannya adalah hal yang paling kita takutkan, karena masih adanya
rasa rindu yang mungkin masih belum usai, dan harap kosong yang nantinya akan
tumbuh lagi walau kita tahu bahwa sudah tidak ada kesempatan lagi. Tidak mudah
memang melupakannya, namun hati yang tersakiti perlahan menjadi alasan untuk
pelan-pelan menjauh pergi. Hingga nanti yang tersisa hanyalah sisa-sisa suara,
hanya kenangan yang menikam dada. Hingga akhirnya kita merasa benar-benar
payah, karena melupakannya saja kita selalu ingin menyerah.
Kelak kita akan selalu
mengingatnya, ketika dia pernah menjadi sebuah rindu yang menggoyang ranjang
sepi di kamar kita. Pernah menjadi sesuatu yang menjelma di sela lembar puisi
yang sedang di baca, dan menjadi sebuah lagu yang meggema di kepala. Kelak dia
juga yang akan kita kenang, yang kita pernah harapkan datang meski bukan
sebagai hujan, tapi cukup jadi teman bercerita yang cukup bagi letih menampung
segala kelelahan dalam kehidupan.
Hingga akhirnya kita harus
menekan rindu kita, yang tak serupa para pelaut merindukan daratan. Tak juga
serupa tanah gersang yang merindukan hujan. Kita buat rindu kita sekadar diam,
menghujam rongga dada, dan meninggalkan gelisah yang sembarangan menjajah.
Hingga senja menelan bayang kita, ingatan tentangnya akan tetap tinggal bersama
kita meski dia tak lagi kita mau dan kita rindu. Biarkan doa-doa kita damai
bersamanya dalam syahdu. Biarkan diri kita yang dalam keadaan seperti ini,
hingga kita merasa ini adalah terakhir kalinya kita di kalahkan oleh perasaan
dan di pupuskan semua pengharapan. Kemudian kita bosan merindu sendiri, lalu
menemuinya dalam puisi berkali-kali, hingga akhirnya kita perlahan mulai
bangkit lagi. Karena kita sadar apa yang diberikan mendung kepada bumi, sama
seperti apa yang diberikan harapan kepada hati. Hanya sebuah kemungkinan, tidak
selalu pasti.
Dari sebuah kehilangan kelak
kita akan belajar, bahwa doa adalah sapu tangan paling tabah yang bersedia
mengusap air mata pemiliknya. Kita akan mulai memilih jalan kita sendiri,
mengembara menemui diri kita kembali, membiarkan dirinya perlahan pergi bersama
daun-daun yang mati lalu terbakar menjadi abu dan tenggelam ke dasar bumi.
Mencoba untuk menemui seseorang yang asal bukan dia, dia yang pernah membuat
jatuh pada cinta hingga akhirnya membuat lubang luka di dada.
Semoga waktu benar-benar
menjadi obat dari segala kenangan yang sendu,
meski sejujurnya sangat sulit membiarkannya menjauh dari masa lalu.
Namun, kita paham, kita bukan lagi seseorang yang dia inginkan. Sekuat apapun
kita menjaga doa-doa untuk bersama, tidak akan berguna jika dia tidak juga
bersedia. Atau mungkin ini jawaban saat kita meminta yang terbaik kepada Tuhan,
dan akhirnya kita dipisahkan. Berucap memang tak semudah menatap. Andai mata
dapat mengirim pesan serupa kata yang tertangkap telinga. Atau hati dapat
mendengar suara yang tak melewati udara. Tak mungkin ada sesak saat tak terjadi
jumpa. Pastilah tak perlu ratap saat rindu kian meluap.
Kini setelah tidak
dengannya, doakanlah selalu yang terbaik untuknya. Mulai berdamailah dengan masa
lalu kita demi kebahagian kita juga kelak nantinya. Doakan saja semoga harinya
menyenangkan, semoga dia temui seseorang yang lebih keras memperjuangkannya,
yang lebih tabah memahaminya, melebihi segala hal yang pernah kita lakukan
untuknya. Semoga dia juga tidak merasakan luka seperti yang kita rasakan, juga
tidak lagi merasakan kesedihan yang berkepanjangan. Semoga tidak ada lagi air
mata di segala kenangan saat datang menerjang terutama di kala sepinya malam
dan di derasnya hujan. Semoga dia bahagia, dan kita lebih bahagia. Karena,
puncak manisnya sebuah hubungan yang sudah berakhir adalah ketika yang bicara
hanya air mata, tapi jauh dilubuk hati masih saling mendoakan satu sama lain
dihadapan Sang Pencipta.
4/3/17 19.49 WIB
Geometry Cafe
No comments:
Post a Comment